Contoh Materi Khutbah Jumat 29 Januari 2021: Keutamaan Bekerja

- 28 Januari 2021, 22:14 WIB
Ilustrasi bekerja. Sumber foto: unsplash.com/Tyler Franta
Ilustrasi bekerja. Sumber foto: unsplash.com/Tyler Franta /



MAPAY BANDUNG - Berikut contoh materi khutbah untuk Jumat 29 Januari 2021 yang mengambil tema tentang bekerja.

Bekerja merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik kebutuhan pangan, sandang, maupun papan.

Lalu, bagaimana keutamaan bekerja dalam Islam? Apakah sebatas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ataukah ada nilai ibadahnya?

Berikut contoh khutbah tentang bekerja yang dikutip MapayBandung.com dari laman NU Online.

Baca Juga: DJP Luncurkan Meterai Tempel Baru, Mulai Berlaku 2021 Ini

Baca Juga: Masih Pandemi, Perubahan UU Pemilu Dinilai Tidak Perlu

Khutbah I


اَلْحَمْدُ ِللهِ وَكَفٰى، وَسَلاَمٌ عَلٰى عِبَادِهِ الَّذِيْنَ اصْطَفٰى. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللهُمَّ صَلِّ وَسَلّمْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. اَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ، اُوْصِيْكُمْ وَاَيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.


Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai banyak pengangguran. Namun anehnya, secara bersamaan kita temui pula kasus susahnya mencari orang yang mau bekerja.

Banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dalam hidup ini terbengkalai begitu saja. Ini menunjukkan bahwa menganggur tak selalu identik karena tak adanya pekerjaan, melainkan bisa jadi karena kemalasan.

Islam membenci pengangguran sebab kemalasan, dan—sebaliknya—menyukai orang-orang yang mau bekerja keras.

Secara fiqih, bekerja mencari nafkah adalah wajib, sedangkan berpangku tangan hukumnya adalah haram. Sebab, orang menganggur berarti tidak memanfaatkan anugerah yang telah Allah berikan, berupa nikmat pikiran, nikmat kekuatan, kesehatan, dan lain sebagainya.

Secara fitrah, manusia adalah makhluk sempurna yang memiliki kompetensi diri yang unik, beragam, dan sesuai dengan bidang pekerjaan tertentu. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, manusia memiliki potensi yang bisa digunakan untuk bekerja.

Berpangku tangan bukan hanya membuat orang tak mendapat penghasilan, tapi bisa juga menjerumuskannya pada perilaku buruk meminta-minta, bahkan merugikan orang lain, demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Baca Juga: Jangan Tunggu 17 Tahun Lagi, Lakukan Ini Ketika Bulan Purnama Tepat di Atas Ka'bah

Baca Juga: Total Kerusakan dan Kerugian Pasca Gempa Sulawesi Barat Capai Rp829,1 Miliar

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Dalam Kanzul Ummal no. 9858 diriwayatkan bahwa Umar bin Khatab radliyallahu anhu mengatakan yang artinya.

“Sungguh kadang aku melihat seorang lelaki yang membuatku terkagum. Lalu aku tanyakan, ‘Dia punya pekerjaan?’ Jika mereka menjawab ‘Tidak’ lelaki itu langsung jatuh wibawanya di mataku.”

Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu dalam Mujam al-Kabir no. 8539 mengatakan:

إِنِّي لأَمْقُتُ أَنْ أَرَى الرَّجُلَ فَارِغًا، لا فِي عَمِلِ دُنْيَا، وَلا آخِرَةٍ

"Sungguh aku marah kepada orang yang nganggur, yang tidak melakukan amal dunia maupun amal akhirat" (HR at-Thabrani).

Menurut Yusuf Qaradhawi, pengangguran itu terbagi menjadi 2 macam:

1. Pengangguran jabariyah, yaitu menganggur karena tidak ada pilihan lain sebab tidak mempunyai ilmu dan keterampilan sehingga terpaksa menjadi pengangguran.

2. Pengangguran khiyariyah, yaitu orang yang lebih memilih menganggur dan bergantung kepada orang lain padahal dia mempunyai kemampuan untuk bekerja mencari nafkah.

Baca Juga: Tegas! Moeldoko Sebut Pemerintah Tak Pernah Luntur dalam Pemberantasan Korupsi

Baca Juga: TNI AU Bakorda Bandung Kirim Bantuan untuk Korban Bencana di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat

Pengangguran bisa berdampak negatif, baik pada diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan sekitar. Efek personal itu bisa berupa efek fisik, misalnya sakit kepala, sakit perut, masalah tidur, kekurangan energi, hipertensi, penyakit jantung, dan penyakit ginjal; bisa pula efek psikologis, misalnya timbulnya perasaan malu, depresi, sensitif, kecemasan, kemarahan, ketakutan, keputusasaan, penurunan harga diri, kesepian dan isolasi sosial, hingga peningkatan permusuhan.

Dalam lingkup keluarga, menganggur bisa memicu gesekan perkawinan, depresi pasangan, konflik keluarga, pelecehan anak dan penelantaran keluarga yang seharusnya dinafkahi.

Mengabaikan kewajiban menafkahi keluarga adalah perbuatan dosa, sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

“Seseorang cukup dikatakan berdosa jika ia melalaikan orang yang wajib ia beri nafkah” (HR Abu Daud).

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Sementara itu, untuk menghindari pengangguran, dalam Al-Qur’an Allah telah memerintahkan kita untuk memberi nafkah menurut kemampuan masing-masing.

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا

”Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq: 7)

Baca Juga: Distaru Rekrut Pemikul Jenazah, Pemakaman Covid-19 di Kota Bandung Gratis

Baca Juga: PIA Ardhya Garini Lanud Sulaiman Bantu Korban Gempa Sulawesi Barat dan Banjir Kalimantan Selatan

Namun demikian, urutan mendahulukan nafkah pada istri daripada kerabat lainnya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا، بَيْنَ يَدَيْكَ، وَعَنْ يَمِينِكَ، وَعَنْ شِمَالِكَ


“Mulailah dari dirimu sendiri. Sedekahkanlah untuk dirimu. Selebihnya dari itu untuk keluargamu (anak dan istrimu). Selebihnya lagi dari itu untuk kerabat dekatmu. Selebihnya lagi dari itu untuk tujuan ini dan itu yang ada di hadapanmu, yang ada di kanan dan kirimu” (HR Muslim).

Islam senantiasa mendorong umatnya untuk berikhtiar. Menjadi pengangguran bagi orang yang mampu bekerja adalah perbuatan yang hina dengan berbagai mudarat dan dampak negatifnya.

Kewajiban seseorang adalah berusaha, sedangkan soal mencapai target pendapatan tertentu adalah hal lain. Besaran nafkah bisa disesuaikan dengan kemampuan maksimal yang ada dan dengan skala prioritas pemenuhan kebutuhan yang telah digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya.

Jadi, utamakan nafkah diri, keluarga, karib kerabat, dan pemenuhan kebutuhan tujuan dan cita-cita hidup agar sukses dengan berusaha dan bekerja keras tentunya.

Dengan bekerja keras, ikhlas, dan memohon ridha Allah semata maka Allah, Rasul dan orang-orang beriman akan menilai dan mengapresiasi pekerjaan kita dengan ganjaran materi (syahadah) maupun nonmateri (ghaib).

Baca Juga: ORANG HILANG : Silfia Arianti Belum Pulang ke Rumah Sejak 15 Desember 2020

Baca Juga: Update BWF World Tour Finals 2020: Greysia/Apriyani Menang Lagi dan Dipastikan Lolos Fase Grup

Demikian khutbah singkat ini disampaikan. Semoga menambah motivasi kita untuk menghindarkan diri dari hinanya menjadi pengangguran dan menggapai kemuliaan dengan bekerja keras.


بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ


Khutbah II

اَلْحَمْدُ ِللهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ. اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَ وَ كَفَرَ. وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ وَ حَبِيْبُهُ وَ خَلِيْلُهُ سَيِّدُ الْإِنْسِ وَ الْبَشَرِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَ سَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. اَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ الله اِتَّقُوْا الله وَ اعْلَمُوْا اَنَّ الله يُحِبُّ مَكَارِمَ الْأُمُوْرِ وَ يَكْرَهُ سَفَاسِفَهَا يُحِبُّ مِنْ عِبَادِهِ اَنْ يَّكُوْنُوْا فِى تَكْمِيْلِ اِسْلَامِهِ وَ اِيْمَانِهِ وَ اِنَّهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفَاسِقِيْنَ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ وَ سَلَّمْتَ وَ بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى اَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ وَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَ الْأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ وَ قَاضِيَ الْحَاجَاتِ. اَللَّهُمَّ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْهَدَيْتَنَا وَ هَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ. رَبَّنَا لَا تَجْعَلْ فِى قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ اَمَنُوْا رَبَّنَا اِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَ ذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَ اجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا. رَبَّنَا اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ, اِنَّ الله يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَ الْإِحْسَانِ وَ اِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَ يَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ الْبَغْىِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَّكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوْا الله الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَ اشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَ لَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ .

Oleh: Rakimin Al-Jawiy, Dosen Psikologi Islam UNUSIA Jakarta.***

Editor: Rian Firmansyah

Sumber: Instagram NU Online @nuonline_id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x