“Praktik predatory pricing itu harus diakui memang terjadi, terlihat dari harga barang yang murah sekali. Namun kami sedang melihat, apakah ini karena ada barang yang masuk ilegal atau memang tarif bea masuk kita yang terlalu rendah. Kami ingin mengatur supaya platform digital membuat persyaratan kepada para sellernya. Mereka boleh berjualan impor tapi harus menyertakan dokumen importasi,” kata Teten Masduki.
Hal itu pula yang ia minta kepada pihak e-commerce seperti TikTok untuk menyertakan dokumen tersebut.
Sebab, jika tidak dipenuhi, jelas akan melanggar dua Undang-Undang (UU) yakni terkait penjualan barang selundupan yang memiliki sanksi pidana hingga pelanggaran UU kepabeanan.
“Kami ingin bekerja sama dengan platform digital karena seller berjualan di dalamnya. Sebab bukan cuma online saja yang jualannya diatur. Di offline juga diatur, kalau ada mall atau toko menjual barang gelap ilegal juga ada aturannya. Apa yang berlaku di offline juga mestinya berlaku di online. Sehingga nanti jika sudah dilakukan, dan itu melanggar, Kemenkominfo bisa langsung menindak platform tersebut,” katanya.
Di negara-negara Eropa, aturan tersebut sudah berlaku, di mana para pelaku usaha di e-commerce tidak boleh memonopoli data dan harus menerapkan transparansi data.
“Sudah disiapkan Satgas Transformasi Digital, namun memang kita belum punya kebijakan nasionalnya. Kita juga belum punya strategi besarnya, belum ada badannya, karena ini kerja sama lintas sektoral, sehingga harus ada kebijakan yang sama di setiap kementerian,” kata Teten.
Teten pun menegaskan, aturan tersebut bukan berarti pihaknya menolak hadirnya produk asing atau impor. Aturan dibuat untuk menciptakan perdagangan antara online dan offline, merespons serbuan produk asing sehingga tercipta ekosistem yang lebih adil.***