Sempat berprasangka buruk dengan mencurigai orang yang memelihara tuyul, namun terbantahkan karena warteg yang dimiliki selalu dilakukan ruqyah dan ditanami pohon bambu ireng di dekat pintu masuk.
Tito pun menceritakan keganjilan ini pada sesama pemilik warteg yang ada di sekitar tempat tinggalnya.
“Anehnya mas, teman-teman pemilik warteg lain menyampaikan hal yang sama,” ucapnya.
Hingga pada suatu hari menjelang Idul Fitri, paman Tito yang berasal dari Bondowoso berkunjung ke rumahnya untuk bersilaturahmi.
Setelah mengobrol dan mengeluh tentang kejadian mistis yang terjadi pada warteg, pamannya yang memiliki kepekaan supranatural akan meneman Tito berjualan di warteg.
“Nah mas, besok paginya Pakde saya ikut standby di warteg setelah mendengar curhat soal kehilangan uang itu,” ucapnya.
“Ada salah satu pelanggan saya mas, dilihatin terus sama Pakde saya dan ketika selesai terus ingin membayar, Pakde memberi pesan supaya dia saja yang melayani pembayaran di kasir,” sambungnya
Saat pembeli itu memberikan uang pecahan Rp100 ribu untuk membayar, tau-tau Pakde bersikap tidak biasa. Sambil tersenyum, ia meminta pembeli untuk memberikan uang pecahan yang lebih kecil.
“Enggak ada uang kecil pak,” kata pelanggan yang baru dilihat Tito itu.