MAPAY BANDUNG - Pada perayaan Malam 1 Suro, masyarakat Jawa biasanya akan melakukan ritual tradisi seperti lek-lekan, tuguran, hingga tapa bisu.
Ritual tradisi seperti lek-lekan, tuguran, hingga tapa bisu pada saat Malam 1 Suro ini, dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri.
Namun, apa arti sebenarnya dari ritual tradisi seperti lek-lekan, tuguran, dan tapa bisu pada Malam 1 Suro? Simak penjelasannya di sini.
Baca Juga: Ini Puasa yang Dianjurkan Nabi di Bulan Muharram, Safaatnya Bisa Hapus Dosa 1 Tahun yang Lalu
Tradisi saat Malam 1 Suro bermacam-macam, tergantung dari daerah mana memandang hal ini. Namun, ada 3 tradisi yang umum dilakukan oleh masyarakat, yakni seperti lek-lekan, tuguran, dan tapa bisu.
Dilansir MapayBandung.com dari laman web Kemdikbud, Kamis 28 Juli 2022, 3 contoh ritual tradisi itu umum dilakukan saat Malam 1 Suro, yang dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri.
Saat Malam 1 Suro tiba, masyarakat umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), tuguran (perenungan diri sambil berdoa), hingga tapa bisu.
Bahkan, sebagian orang memilih menyepi untuk semedi di tempat sakral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat.
Sedangkan tapa bisu atau biasa disebut mengunci mulut, adalah suatu tradisi yang mengharuskan semua umat untuk tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual malam 1 Suro.
Tradisi tapa bisu pada perayaan Malam 1 Suro juga dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya.
Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci.
Sebab, bulan Suro adalah bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa.
Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.
Baca Juga: Robert Sebut Ciro Alves Masih Belum Pulih, Peluang Debut di Laga Kontra Madura United Tertunda
Sepanjang bulan Suro, masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada.
Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada, berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.***